Senin, 19 April 2010

Lucu, imut, menggemaskan, dan dia cerdas!



Laba-laba peloncat (anggota Famili Salticidae) tampaknya kontras dengan laba-laba lainnya. Jika laba-laba lainnya menunjukkan ‘ketidak sukaannya’ terhadap sesuatu yang asing bagi mereka , salticid sepertinya justru tertarik. Mereka tidak sungkan meloncat ke tangan kita dan dengan penglihatan yang tajam, memeriksa segala sesuatu. Tingkah mereka yang seperti itu nampak lucu dan menggemaskan, dan keingintahuan itu menunjukkan mereka memiliki tingkat kecerdasan yang tinggi. I love this spider!

Mereka yang dikaruniai penglihatan luar biasa

Hyllus diardi (Dok. Sidiq Harjanto)

Sepasang mata median anterior (AME) itu tampak besar, jauh lebih besar daripada ke enam mata lainnya. AME mudah digunakan untuk membedakan Famili Salticidae dari famili lainnya. Seperti sebagian besar laba-laba lainnya, salticid memiliki 8 mata, tetapi pada umumnya sepasang mata median di deretan belakang berukuran sangat kecil sehingga sulit diamati dengan mata telanjang.

AME bisa dikatakan spesial bagi laba-laba kelompok ini. Penglihatan mereka jauh lebih baik daripada rata-rata sebagian besar invertebrata terestrial lainnya. Enam otot yang berbeda bekerja pada AME, dan mata dilengkapi dengan 3 opsin sehingga mereka memiliki penglihatan trikromatik (Hill & Richman 2009). Dengan penglihatan yang baik, sebagian besar salticid hidup diurnal dan mengandalkan mata mereka untuk menemukan mangsa dan membantu sistem navigasi.

Pada foto di atas, nampak seekor laba-laba salticid menunjukkan sikap siaga dengan mengangkat dua pasang kaki depannya. Eksperimen sederhana dengan menghadapkan laba-laba peloncat ke bayangan mereka di cermin seperti dalam foto di atas mungkin dapat menjadi bukti bahwa laba-laba itu memiliki penglihatan yang tajam.

Selasa, 13 April 2010

Apakah anda orang yang tidak mudah tertipu…?


Siapakah sebenarnya penipu paling ulung di dunia…? Mungkin tidak ada orang yang tahu pasti… Ah, itu semua tidak terlalu penting untuk di bahas. Yang lebih penting adalah, apakah Anda termasuk orang yang tidak mudah tertipu…?

Berikut ini adalah sebuah tes sederhana untuk melihat tingkat kehati-hatian Anda…
Inilah pertanyaannya:

1. Pernyataan manakah yang menurut Anda paling tepat untuk foto di atas?
a. Saya yakin foto seekor semut, dengan kepala di sebelah kanan
b. Saya yakin foto seekor semut, dengan kepala di sebelah kiri
c. Saya yakin foto seekor semut, tapi saya ragu-ragu mana kepala, mana perut…
d. Saya ragu-ragu apakah itu benar-benar seekor semut
e. Saya yakin itu bukan foto seekor semut

Nah apakah jawaban Anda?
Jika Anda menjawab a, Anda termasuk orang yang cukup berhati-hati…tapi nampaknya Anda kurang beruntung, karena masih saja tertipu…
Jika jawaban anda b, nah ini paling celaka…Anda tertipu dua kali ….
Kalau jawab c, Anda juga cukup berhati-hati mencermati…tapi tetap saja Anda tertipu
Bagi yang menjawab d, Anda lebih beruntung daripada yang menjawab a,b, dan c. Tapi semoga keraguan Anda cukup beralasan.
Nah yang menjawab e….selamat, Anda orang yang tidak mudah tertipu!! Tapi semoga saja Anda punya alasan yang jelas memilih opsi d…bukan faktor luck…

Jadi memang benar, dalam foto itu bukan seekor semut. Jika dicermati lebih detail lagi beberapa hal ganjil yang cukup jelas: 2 mata besar menyeramkan itu jelas bukan mata seekor semut, dan ‘antenna’ itu bukan keluar dari kepala, melainkan dari bagian dada (thorax), jadi lebih tepat dibilang sepasang tungkai terdepan yang dimodifikasi. Trus satu lagi, mana ada semut punya pedipalpi gitu…dia telah menipu kita kawan2…hahaha. She is a spider…yes, an ant mimicking spider!

Foto: ant-mimicking spider from Menoreh (Salticidae) oleh Sidiq Harjanto

Sabtu, 10 April 2010

Jujur, saya pengidap arachnophobia!


Setelah tulisan-tulisan sebelumnya lebih banyak bercerita tentang laba-laba dan kerabatnya, sekarang saatnya bercerita tentang diri saya; meskipun tetap saja ada kaitannya dengan laba-laba.

Semuanya berawal saat saya duduk di kelas III SD (kalau tidak salah)

Masa kecil saya…? Saya besar di sebuah kampung kecil, di pelosok Provinsi DIY. Bersama keluarga, kami menghuni sebuah rumah kecil yang di depannya ada hamparan sawah yang tampak menguning seperti emas jika musim panen tiba. Sedangkan di belakang rumah ada perbukitan Menoreh, yang tampak hijau saat musim hujan; tapi berubah menjadi kering dan gersang saat kemarau datang. Maklumlah, sebagian besar ditanami jati dan mahoni. Tidak ada yang terlalu menonjol dari diri saya. Saya bukan anak yang jenius, yang selalu membuat teman-teman terkagum-kagum. Tapi bukan juga anak bebal..wong saya belum pernah tinggal kelas. Kalo nakal, sepertinya nggak juga…Cuma sekali saya berantem, itupun dikeroyok…hehe.

Pagi itu, seperti biasa saya berangkat ke sekolah dengan perasaan gembira, ya…yang namanya anak-anak, lebih banyak seneng daripada sedihnya… Jam pertama dimulai, ‘anak-anak, bukunya dikeluarkan ya…!’ begitu kata bu guru. Tanpa berlama-lama, saya buka tas saya. Tapi saya merasakan ada sesuatu yang aneh saat saya memasukkan tangan ke dalam tas itu. Tiba-tiba waktu seperti berhenti...tapi saya justru semakin merasakan bahwa ada yang bergerak-gerak merayapi tangan kecil saya. Sontak saya tarik tangan dari dalam tas…dan…jantung ini rasanya copot ketika saya lihat seekor laba-laba sebesar jari orang dewasa nampak panik…merayapi tangan saya. Aaaaa…saya menjerit (tapi nggak selebay yang Anda bayangkan lho…). Laba-laba kabur… dan hanya tersisa saya dengan tampang bloon, serta tatapan aneh bu guru dan teman-teman… Gerrr…saya malah jadi bahan tertawaan deh…

Usut punya usut ternyata malam hari sebelum kejadian memalukan itu, saya lupa menutup tas setelah mengerjakan PR, belajar (apa iya..?), dan mempersiapkan buku-buku untuk esoknya. Nah kemungkinan si laba-laba itu menyelinap di tas saya malam hari saat saya tertidur pulas.

Dari peristiwa itulah saya mendapatkan trauma mendalam tentang laba-laba, sama seperti trauma saya dengan makhluk bernama kodok! Dua hewan itu selalu jadi momok dalam keseharian saya semasa kecil, bahkan sampai sekarang.. Dulu saya takut semua jenis laba-laba, dari yang berukuran kecil, apalagi yang berukuran lebih besar dari jari. Bahkan, percaya nggak percaya, melihat jaring-jaringnya saja bisa merinding.

Terapi itu saya sebut ‘witing tresno kudu dipekso

Penderitaan saya masih belum berakhir, bahkan saat saya sudah kuliah dan masuk organisasi mapala. Pengalaman caving (penelusuran gua) pertama kali, sudah disambut oleh Amblypygi (kalacemeti), membuat saya bergidik nggak karuan... Dan caving-caving berikutnya pun seperti itu, ketakutan dan kecemasan utama saya bukan pada gelapnya gua atau harus menuruni luweng menggunakan Single Rope Tecnique; tapi bagaimana ya kalau tiba-tiba ada Amblypygi menggerayangi saya…atau tanpa sengaja menyentuh ‘bokong’ besarnya itu….

Saya mulai sadar bahwa trauma masa kecil itu masih membekas, dan saya menyadari bahwa saya adalah pengidap arachnophobia. Sebuah ketakutan berlebihan pada laba-laba dan kerabatnya (arachnid). Lama-lama saya bosan dengan kecemasan-kecemasan itu, ‘ini harus segera diakhiri!’ pikir saya. Terapi itu saya awali dari Amblypygi; yang ini jenis Charon grayi, nggak main-main (untuk seorang pengidap arachnophobia), maklum karena ukurannya besar dan memang terkesan mengerikan. Saya coba kumpulkan semua keberanian, konsentrasi…; saya tatap lama-lama Amblypygi itu dalam jarak semakin dekat, saya sentuh ‘bokongnya’…dan…serrr…gerakan tiba-tiba hewan itu masih saja membuat jantung saya serasa mau copot. Nah ini adalah poin yang pertama kali saya ambil. Kaget oleh gerakan tiba-tiba! Mostly, arachnid memang sering membuat gerakan tiba-tiba jika merasa terancam, entah berlari atau menunjukkan posisi siaga. Dari pembelajaran ini saya berkesimpulan bahwa jika hewan itu saya tangkap, berarti dia tidak akan mengagetkan lagi. Cukup lama saya mengumpulkan keberanian untuk melakukannya…hanya keinginan kuat untuk sembuh dari trauma berkepanjangan dan keyakinan bahwa hewan itu tidak berbahaya, menjadi modal saya. Akhirnya…dengan kecepatan tinggi saya terkam hewan berkaki 8 itu, saya rasakan gerakan tungkai-tungkainya di telapak tangan. Ya…saya sudah memegangnya!! Wow…rasanya seperti memenangkan pertarungan gladiator…!

Mulai saat itulah sedikit demi sedikit saya mengatasi ketakutan terhadap laba-laba dan kerabatnya. Sudah lumayan, meskipun rasa cemas dan takut masih sering menghinggapi terutama untuk jenis-jenis bertubuh bongsor macam tarantula. Dan justru sekarang yang saya rasakan adalah semakin mencintai mereka…

This confession dedicated to Charon grayi, an enigmatic whip spider.

Reproduksi pada bangsa laba-laba dan kerabatnya

Semua makhluk hidup memiliki mekanisme untuk mempertahankan eksistensi spesiesnya. Melalui mekanisme yang disebut reproduksi, spesies-spesies bertahan dari kepunahan. Keturunan hanya akan terjadi jika individu-individu yang melangsungkan perkawinan merupakan spesies yang sama.

Tidak perlu berpanjang lebar membahas reproduksi makhluk hidup secara umum, langsung pada pembahasan mengenai perkembangbiakan pada laba-laba dan kerabatnya. Secara umum dapat dikatakan Arachnida bereproduksi secara seksual dengan fertilisasi bersifat internal, sama seperti pada manusia. Hanya saja perlu diketahui bahwa proses yang berlangsung tidak sama dengan reproduksi pada manusia dan hewan tingkat tinggi lainnya. Pada laba-laba dan arachnid lainnya, sperma individu jantan dimasukkan ke dalam tubuh individu betina dengan tidak menggunakan organ genital jantan. Dengan kata lain, ada fase yang disebut fase intermediet sebelum terjadinya fertilisasi. Adanya fase intermediet juga terjadi pada beberapa serangga tak bersayap, dan myriapod.

Amblypygi (whip spider) memiliki 5 tahapan dalam proses perkawinan (Weygoldt 2000). Dimulai dari tahap percumbuan, ditandai dengan ritual tertentu sebagai bentuk persiapan. Pada beberapa jenis jantan dan betina melakukan ‘tarian’ unik. Tahap selanjutnya adalah pembentukan spermatophore sebagai alat transfer spermatozoa kepada betina. Individu jantan kemudian melakukan atraksi untuk menarik/memikat sang betina agar mengambil sperma dari spermatopore. Tahapan tersebut kemudian diikuti dengan proses transfer spermatozoa dari spermatophore ke tubuh individu betina. Keempat tahapan diakhiri dengan ritual pascakawin. Setiap tahapan di atas bervariasi pada tiap jenis.

Laba-laba (khususnya Araneomorphae, Entelegyne) memiliki mekanisme yang berbeda, sperma disimpan dalam pilinan benang dan selanjutnya ditransfer ke organ khusus pada ujung pedipalpi sang jantan. Proses percumbuan seringkali beresiko bagi jantan, mengingat sifat dominan individu betina. Jantan harus mampu mengenali bahwa individu betina berasal dari jenis yang sama dan siap untuk kawin. Tarian khusus dilakukan untuk menghindari pemangsaan oleh betina. Ritual percumbuan sangat menentukan keberhasilan perkawinan, mengingat kesalahan sedikit dalam ritme vibrasi atau sentuhan bisa berakibat fatal bagi sang jantan.

Jika proses percumbuan berhasil, maka individu jantan dapat mentransfer spermanya ke tubuh sang betina melalui organ yang disebut epygnum yang berada pada ventral abdomen. Laba-laba menggunakan R-strategy dalam bereproduksi, artinya menghasilkan banyak anak. Jumlah telur yang dihasilkan bervariasi, betina dapat menghasilkan ribuan telur. Adelocosa anops (Lycosidae) dari beberapa gua di Hawaii hanya menghasilkan 15-30 butir telur (Kendall & Reyer 2006), meskipun pada lycosid epygean setidaknya menghasilkan 100 butir telur. Mengingat tingkat reproduksi yang rendah dan tekanan kerusakan habitat, jenis troglobit tersebut telah masuk list endangered.

Telur laba-laba disimpan dalam kantong, yang memiliki fungsi utama untuk melindungi telur dan menjaga kelembaban agar tetap stabil. Induk betina memiliki mekanisme berbeda-beda dalam menjaga telur, antara lain dengan menyimpan dalam sarang, membawanya dengan chelicera, atau menempelkan pada ventral menggunakan benang. Betina pada beberapa jenis mati setelah bertelur.

Beberapa jenis laba-laba dan arachnid lainnya memiliki perhatian khusus pada anak-anak mereka. Bentuk perhatian tersebut misalnya dengan menggendong di bagian dorsal abdomen, atau dengan cara memberikan makanan selama bayi-bayi masih lemah.


Foto: kantung telur

Mereka memang unik!

Rata Penuh
Ini adalah beberapa fakta mengenai laba-laba, yang menurut saya unik:

1. Sampai saat ini, tak kurang dari 38.000 jenis telah diketahui. Araneae merupakan ordo terbesar ke-7 untuk semua organisme.

2. Semua laba-laba menghasilkan benang dari organ yang disebut spinerret, tetapi tidak semuanya membangun jaring. Selain kelompok pembuat jaring, ada kelompok lain yang menggunakan benang sebagai ‘safety rope’.

3. Sebagian besar laba-laba menunjukkan dimorfisme seksual yang kuat, betina lebih dominan. Pada beberapa jenis, laba-laba jantan harus melakukan ‘ritual percumbuan’ khusus untuk sekedar mendekati betinanya agar tidak dimakan.

4. Beberapa laba-laba lainnya bereproduksi secara parthenogenesis.

5. Jika bagian prosoma (cephalotorak) seekor laba-laba ditusuk, maka laba-laba itu tidak bisa menggerakkan tungkai-tungkainya. Hal ini karena laba-laba menggunakan sistem hidrolik untuk menggerakkan alat-alat gerak mereka.

6. Laba-laba peloncat memiliki penglihatan tajam, bahkan dapat mencapai 10 kali lebih tajam daripada capung, serangga dengan penglihatan terbaik. Meskipun demikian, manusia memiliki penglihatan 5 kali lebih tajam daripada laba-laba peloncat.

7. Venom (agar tidak rancu dengan poison) laba-laba dihasilkan oleh organ khusus di dekat basal chelicera dan disuntikkan menggunakan dua buah taring di bagian depan prosoma. Racun tersebut bersifat neurotoksin.

8. Semuanya jenis yang diketahui adalah predator, kecuali Bagheera kiplingi (Salticidae) sebagai jenis pertama yang diketahui sebagai herbivor.

(dari berbagai sumber)
Foto: spinerret

Selasa, 06 April 2010

Perilaku makan laba-laba

Keluarga laba-laba memiliki variasi dalam perilaku makan, khususnya dalam mendapatkan mangsa. Kelompok penenun (weaver) mungkin yang paling familiar. Mereka membangun jaring penjerat dengan bentuk tertentu, menunggu, dan menyergap mangsa yang terjerat. Mekanisme yang berlaku pada kelompok ini nampaknya dapat dibagi menjadi 4 tahapan yaitu: mendapatkan posisi menurut faktor-faktor lingkungan, membangun jaring penjerat, melumpuhkan mangsa yang terjerat, dan proses mencerna (Leborgne et. al 1991). Faktor-faktor yang diduga berkorelasi dengan penentuan posisi jerat antara lain faktor klimat, faktor fisik (benang), kemelimpahan mangsa, dan keberadaan kompetitor. Cob-web sering memodifikasi jaring jerat mereka dengan menambahkan shelter dari daun (foto ada di bagian lain dalam blog ini).

Kelompok lain memiliki mekanisme ‘duduk dan menunggu mangsa’. Mereka tidak membangun jerat, melainkan menunggu mangsa yang mendekat dan menyergap dengan kecepatan tinggi. Kamuflase merupakan salah satu kunci keberhasilan predator tipe ini. Thomisid (laba-laba kepiting) misalnya, seringkali memiliki warna-warna cerah menyerupai bunga; sedangkan laba-laba lainnya kadang nampak menyatu dengan batang pohon. pada sarang berbentuk lubang di tanah. Tarantula, laba-laba primitif Lyphistiidae, dan laba-laba trapdoor berdiam di lubang pada tanah dan menyerang mangsa yang mendekati sarang mereka (diadopsi dari wikipedia).

Selain mekanisme yang disebutkan di atas, kelompok lainnya menggunakan strategi berburu aktif. Laba-laba pemburu dilengkapi dengan kemampuan mata yang luar biasa dalam mengidentifikasi keadaan di sekeliling mereka. Salticidae (laba-laba peloncat) dan Lycosidae (laba-laba serigala) merupakan contoh yang mudah ditemukan di sekitar kita. Mereka umumnya aktif pada siang hari (diurnal). Salticid memburu mangsa dengan bantuan benang sebagai pengaman sehingga membentuk semacam trek, karena kelompok ini umumnya arboreal. Sedangkan laba-laba serigala biasanya berburu di tanah atau pada pangkal tanaman rendah. Beberapa laba-laba bahkan nampak memiliki kecerdasan yang luar biasa. Mereka dapat menyusup ke dalam koloni musuh karena mengembangkan adaptasi morfologi hingga menyerupai musuh.

Bagheera kiplingi (Salticidae) mungkin memiliki perilaku yang paling aneh dalam dunia laba-laba. Jenis yang ditemukan di Amerika tengah ini merupakan laba-laba yang pertama kali diketahui sebagai vegetarian, karena nutrisi utama mereka di ambil dari dedaunan dan nektar.

Foto: 'sit-waiting and then rapidly atacking' strategy in Sparassid

Senin, 05 April 2010

Arachnofauna di gua-gua kawasan Menoreh

Laba-laba dan kerabatnya mampu bertahan dalam berbagai habitat. Bahkan di lingkungan yang ekstim seperti gua. Karakteristik lingkungan gua antara lain: tidak adanya cahaya, kelembaban yang sangat tinggi, gas karbondioksida yang berlimbah, dan radiasi gas rhadon (Howarth 1993). Dengan kondisi demikian, maka hewan-hewan gua (dan habitat subterran lainnya) memiliki mekanisme adaptasi morfologi, fisiologi, dan tingkah laku. Belum lagi dengan adanya keterbatasan nutrisi, hewan gua harus mengefektifkan metabolisme tubuh. Pada organisme dengan level adaptasi tinggi (cave obligat organism), sebagian besar energi dialokasikan untuk berkembangbiak sebagai bentuk menjaga eksistensi spesies.

Kiranya masih terlalu dini untuk banyak berbicara tentang biospeleologi di Indonesia, karena saat ini tantangan terbesar justru masih pada eksplorasi fauna gua dan memecahkan berbagai kendala taksonomis yang ada. Karena faktanya banyak jenis-jenis hewan gua belum teridentifikasi atau bahkan belum dideskripsi. Pengumpulan data mengenai Arachnida sebagai salah satu penyusun keanekaragaman fauna gua, masih menjadi tantangan besar untuk saat ini. Arachnid gua merupakan komponen penting dalam ekosistem gua mengingat perannya sebagai predator.

Kawasan karst sempit di Menoreh (Kawasan karst Jonggrangan) ternyata memiliki keanekaragaman jenis-jenis Arachnida yang tinggi. Berikut ini adalah sedikit informasi atau catatan awal mengenai jenis-jenis arachnid yang sering dijumpai di beberapa gua di Menoreh:
1. Amblypygi (Stygophrynus dammermani). Kalacemeti yang satu ini termasuk dalam Famili Charontidae. Ukuran tubuhnya relatif lebih kecil daripada kerabat dekatnya, Charon grayi, jenis dari kawasan Gunung Sewu. Ciri utama untuk membedakan dengan Charon adalah spina dorsal pada tibia pedipalpi berjumlah 3 (pada Charon berjumlah 2). Kalacemeti sangat umum dan sering dijumpai pada dinding gua, atau di tanah dekat dengan guano. Mangsa utamanya mungkin jangkrik gua dan serangga kecil lainnya.
2. Uropygi (Theliphonidae?). Nama daerahnya adalah kalacuka, mungkin karena hewan ini mengeluarkan zat yang berbau mirip cuka jika merasa terganggu. Meskipun relatif jarang ditemukan, hewan ini kadang dapat dijumpai di sekitar mulut gua sampai zona peralihan. Meskipun pernah ditemukan juga sampai zona dalam.
3. Opiliones. Hewan ini cukup mudah ditemukan, namun karena ukuran tubuhnya relatif kecil (tubuh berukuran kurang dari 1 cm), maka kebanyakan orang kurang memperhatikannya. Biasanya mereka merayap pada dinding gua dan bersembunyi di lubang jika diganggu
4. Laba-laba Sparassidae (Marga Heteropoda). Ini adalah jenis dengan ukuran yang besar yang umum dijumpai di gua-gua kawasan Menoreh. Terkadang tubuh dan bentangan tungkai-tungkainya hampir seukuran telapak tangan orang dewasa. Mereka menghabiskan waktu dengan berdiam, menunggu mangsa yang bergerak mendekat, jangkrik gua adalah menu utama. Laba-laba betina membawa kantong telur yang berukuran lebih besar daripada tubuhnya di bagian ventral tubuhnya.
5. Laba-laba lainnya, nampak seperti pholcid, membangun sarang mereka yang tidak beraturan pada celah-celah batuan atau sudut-sudut dinding gua. Satu individu jenis ini sering bersarang bertetangga dengan individu lainnya, menyerupai sebuah perkampungan kecil laba-laba.
6. Dan ‘the most interesting’, adalah satu jenis lagi laba-laba yang kemungkinan buta. Ini berdasarkan ditemukannya reduksi ekstrim pada ke delapan mata mereka hingga menyisakan spot-spot kecil berwarna putih. Sejak ditemukan akhir tahun 2008, populasi jenis ini hanya ditemukan di 3 gua, dan survei ke gua-gua lainnya masih terus dilakukan. Mereka mungkin memiliki habitat yang spesifik; dan dari beberapa catatan penemuan, laba-laba ini terbatas di lorong-lorong terdalam, dekat dengan genangan air atau aliran sungai kecil. Beberapa individu berbagi habitat dengan jenis-jenis troglomorphic seperti Isopoda, millipedes, dan Nocticolidae. Sambil menunggu proses deskripsi, mungkin tidak berlebihan jika kita sebut jenis ini sebagai kandidat baru untuk dimasukkan dalam list troglobit di Indonesia khususnya Jawa.

Tulisan di atas sebatas informasi yang masih sangat dangkal mengenai Arachnida gua, sedangkal pengetahuan penulis. Dan tentunya kita semua berharap bahwa arachnologi di Indonesia semakin membumi hingga menyentuh masyarakat luas. Dan semoga tulisan ini dapat diterima sebagai kontribusi kecil dalam memasyarakatkan laba-laba beserta kerabatnya.

*Foto narsis edition: Temonggo bersama adik2 Matalabiogama F. Biologi UGM (Agus ‘Kremi’, Azis ‘Temon’, Hanifah ‘Cempreng’, dan Umi ‘Syumbai’) saat mengunjungi salah satu gua di Menoreh. Thanks for togetherness.