Setelah tulisan-tulisan sebelumnya lebih banyak bercerita tentang laba-laba dan kerabatnya, sekarang saatnya bercerita tentang diri saya; meskipun tetap saja ada kaitannya dengan laba-laba.
Semuanya berawal saat saya duduk di kelas III SD (kalau tidak salah)
Masa kecil saya…? Saya besar di sebuah kampung kecil, di pelosok Provinsi DIY. Bersama keluarga, kami menghuni sebuah rumah kecil yang di depannya ada hamparan sawah yang tampak menguning seperti emas jika musim panen tiba. Sedangkan di belakang rumah ada perbukitan Menoreh, yang tampak hijau saat musim hujan; tapi berubah menjadi kering dan gersang saat kemarau datang. Maklumlah, sebagian besar ditanami jati dan mahoni. Tidak ada yang terlalu menonjol dari diri saya. Saya bukan anak yang jenius, yang selalu membuat teman-teman terkagum-kagum. Tapi bukan juga anak bebal..wong saya belum pernah tinggal kelas. Kalo nakal, sepertinya nggak juga…Cuma sekali saya berantem, itupun dikeroyok…hehe.
Pagi itu, seperti biasa saya berangkat ke sekolah dengan perasaan gembira, ya…yang namanya anak-anak, lebih banyak seneng daripada sedihnya… Jam pertama dimulai, ‘anak-anak, bukunya dikeluarkan ya…!’ begitu kata bu guru. Tanpa berlama-lama, saya buka tas saya. Tapi saya merasakan ada sesuatu yang aneh saat saya memasukkan tangan ke dalam tas itu. Tiba-tiba waktu seperti berhenti...tapi saya justru semakin merasakan bahwa ada yang bergerak-gerak merayapi tangan kecil saya. Sontak saya tarik tangan dari dalam tas…dan…jantung ini rasanya copot ketika saya lihat seekor laba-laba sebesar jari orang dewasa nampak panik…merayapi tangan saya. Aaaaa…saya menjerit (tapi nggak selebay yang Anda bayangkan lho…). Laba-laba kabur… dan hanya tersisa saya dengan tampang bloon, serta tatapan aneh bu guru dan teman-teman… Gerrr…saya malah jadi bahan tertawaan deh…
Usut punya usut ternyata malam hari sebelum kejadian memalukan itu, saya lupa menutup tas setelah mengerjakan PR, belajar (apa iya..?), dan mempersiapkan buku-buku untuk esoknya. Nah kemungkinan si laba-laba itu menyelinap di tas saya malam hari saat saya tertidur pulas.
Dari peristiwa itulah saya mendapatkan trauma mendalam tentang laba-laba, sama seperti trauma saya dengan makhluk bernama kodok! Dua hewan itu selalu jadi momok dalam keseharian saya semasa kecil, bahkan sampai sekarang.. Dulu saya takut semua jenis laba-laba, dari yang berukuran kecil, apalagi yang berukuran lebih besar dari jari. Bahkan, percaya nggak percaya, melihat jaring-jaringnya saja bisa merinding.
Terapi itu saya sebut ‘witing tresno kudu dipekso’
Penderitaan saya masih belum berakhir, bahkan saat saya sudah kuliah dan masuk organisasi mapala. Pengalaman caving (penelusuran gua) pertama kali, sudah disambut oleh Amblypygi (kalacemeti), membuat saya bergidik nggak karuan... Dan caving-caving berikutnya pun seperti itu, ketakutan dan kecemasan utama saya bukan pada gelapnya gua atau harus menuruni luweng menggunakan Single Rope Tecnique; tapi bagaimana ya kalau tiba-tiba ada Amblypygi menggerayangi saya…atau tanpa sengaja menyentuh ‘bokong’ besarnya itu….
Saya mulai sadar bahwa trauma masa kecil itu masih membekas, dan saya menyadari bahwa saya adalah pengidap arachnophobia. Sebuah ketakutan berlebihan pada laba-laba dan kerabatnya (arachnid). Lama-lama saya bosan dengan kecemasan-kecemasan itu, ‘ini harus segera diakhiri!’ pikir saya. Terapi itu saya awali dari Amblypygi; yang ini jenis Charon grayi, nggak main-main (untuk seorang pengidap arachnophobia), maklum karena ukurannya besar dan memang terkesan mengerikan. Saya coba kumpulkan semua keberanian, konsentrasi…; saya tatap lama-lama Amblypygi itu dalam jarak semakin dekat, saya sentuh ‘bokongnya’…dan…serrr…gerakan tiba-tiba hewan itu masih saja membuat jantung saya serasa mau copot. Nah ini adalah poin yang pertama kali saya ambil. Kaget oleh gerakan tiba-tiba! Mostly, arachnid memang sering membuat gerakan tiba-tiba jika merasa terancam, entah berlari atau menunjukkan posisi siaga. Dari pembelajaran ini saya berkesimpulan bahwa jika hewan itu saya tangkap, berarti dia tidak akan mengagetkan lagi. Cukup lama saya mengumpulkan keberanian untuk melakukannya…hanya keinginan kuat untuk sembuh dari trauma berkepanjangan dan keyakinan bahwa hewan itu tidak berbahaya, menjadi modal saya. Akhirnya…dengan kecepatan tinggi saya terkam hewan berkaki 8 itu, saya rasakan gerakan tungkai-tungkainya di telapak tangan. Ya…saya sudah memegangnya!! Wow…rasanya seperti memenangkan pertarungan gladiator…!
Mulai saat itulah sedikit demi sedikit saya mengatasi ketakutan terhadap laba-laba dan kerabatnya. Sudah lumayan, meskipun rasa cemas dan takut masih sering menghinggapi terutama untuk jenis-jenis bertubuh bongsor macam tarantula. Dan justru sekarang yang saya rasakan adalah semakin mencintai mereka…
This confession dedicated to Charon grayi, an enigmatic whip spider.
Semuanya berawal saat saya duduk di kelas III SD (kalau tidak salah)
Masa kecil saya…? Saya besar di sebuah kampung kecil, di pelosok Provinsi DIY. Bersama keluarga, kami menghuni sebuah rumah kecil yang di depannya ada hamparan sawah yang tampak menguning seperti emas jika musim panen tiba. Sedangkan di belakang rumah ada perbukitan Menoreh, yang tampak hijau saat musim hujan; tapi berubah menjadi kering dan gersang saat kemarau datang. Maklumlah, sebagian besar ditanami jati dan mahoni. Tidak ada yang terlalu menonjol dari diri saya. Saya bukan anak yang jenius, yang selalu membuat teman-teman terkagum-kagum. Tapi bukan juga anak bebal..wong saya belum pernah tinggal kelas. Kalo nakal, sepertinya nggak juga…Cuma sekali saya berantem, itupun dikeroyok…hehe.
Pagi itu, seperti biasa saya berangkat ke sekolah dengan perasaan gembira, ya…yang namanya anak-anak, lebih banyak seneng daripada sedihnya… Jam pertama dimulai, ‘anak-anak, bukunya dikeluarkan ya…!’ begitu kata bu guru. Tanpa berlama-lama, saya buka tas saya. Tapi saya merasakan ada sesuatu yang aneh saat saya memasukkan tangan ke dalam tas itu. Tiba-tiba waktu seperti berhenti...tapi saya justru semakin merasakan bahwa ada yang bergerak-gerak merayapi tangan kecil saya. Sontak saya tarik tangan dari dalam tas…dan…jantung ini rasanya copot ketika saya lihat seekor laba-laba sebesar jari orang dewasa nampak panik…merayapi tangan saya. Aaaaa…saya menjerit (tapi nggak selebay yang Anda bayangkan lho…). Laba-laba kabur… dan hanya tersisa saya dengan tampang bloon, serta tatapan aneh bu guru dan teman-teman… Gerrr…saya malah jadi bahan tertawaan deh…
Usut punya usut ternyata malam hari sebelum kejadian memalukan itu, saya lupa menutup tas setelah mengerjakan PR, belajar (apa iya..?), dan mempersiapkan buku-buku untuk esoknya. Nah kemungkinan si laba-laba itu menyelinap di tas saya malam hari saat saya tertidur pulas.
Dari peristiwa itulah saya mendapatkan trauma mendalam tentang laba-laba, sama seperti trauma saya dengan makhluk bernama kodok! Dua hewan itu selalu jadi momok dalam keseharian saya semasa kecil, bahkan sampai sekarang.. Dulu saya takut semua jenis laba-laba, dari yang berukuran kecil, apalagi yang berukuran lebih besar dari jari. Bahkan, percaya nggak percaya, melihat jaring-jaringnya saja bisa merinding.
Terapi itu saya sebut ‘witing tresno kudu dipekso’
Penderitaan saya masih belum berakhir, bahkan saat saya sudah kuliah dan masuk organisasi mapala. Pengalaman caving (penelusuran gua) pertama kali, sudah disambut oleh Amblypygi (kalacemeti), membuat saya bergidik nggak karuan... Dan caving-caving berikutnya pun seperti itu, ketakutan dan kecemasan utama saya bukan pada gelapnya gua atau harus menuruni luweng menggunakan Single Rope Tecnique; tapi bagaimana ya kalau tiba-tiba ada Amblypygi menggerayangi saya…atau tanpa sengaja menyentuh ‘bokong’ besarnya itu….
Saya mulai sadar bahwa trauma masa kecil itu masih membekas, dan saya menyadari bahwa saya adalah pengidap arachnophobia. Sebuah ketakutan berlebihan pada laba-laba dan kerabatnya (arachnid). Lama-lama saya bosan dengan kecemasan-kecemasan itu, ‘ini harus segera diakhiri!’ pikir saya. Terapi itu saya awali dari Amblypygi; yang ini jenis Charon grayi, nggak main-main (untuk seorang pengidap arachnophobia), maklum karena ukurannya besar dan memang terkesan mengerikan. Saya coba kumpulkan semua keberanian, konsentrasi…; saya tatap lama-lama Amblypygi itu dalam jarak semakin dekat, saya sentuh ‘bokongnya’…dan…serrr…gerakan tiba-tiba hewan itu masih saja membuat jantung saya serasa mau copot. Nah ini adalah poin yang pertama kali saya ambil. Kaget oleh gerakan tiba-tiba! Mostly, arachnid memang sering membuat gerakan tiba-tiba jika merasa terancam, entah berlari atau menunjukkan posisi siaga. Dari pembelajaran ini saya berkesimpulan bahwa jika hewan itu saya tangkap, berarti dia tidak akan mengagetkan lagi. Cukup lama saya mengumpulkan keberanian untuk melakukannya…hanya keinginan kuat untuk sembuh dari trauma berkepanjangan dan keyakinan bahwa hewan itu tidak berbahaya, menjadi modal saya. Akhirnya…dengan kecepatan tinggi saya terkam hewan berkaki 8 itu, saya rasakan gerakan tungkai-tungkainya di telapak tangan. Ya…saya sudah memegangnya!! Wow…rasanya seperti memenangkan pertarungan gladiator…!
Mulai saat itulah sedikit demi sedikit saya mengatasi ketakutan terhadap laba-laba dan kerabatnya. Sudah lumayan, meskipun rasa cemas dan takut masih sering menghinggapi terutama untuk jenis-jenis bertubuh bongsor macam tarantula. Dan justru sekarang yang saya rasakan adalah semakin mencintai mereka…
This confession dedicated to Charon grayi, an enigmatic whip spider.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar